Rabu, 27 Juli 2016

Perlunya Berkhidmat

“Ya Allah, buatlah aku lelah berkhimad kepada hamba-hamba-Mu dengan membagi-bagikan karunia-Mu, jangan jadikan aku lelah mencari karunia-Mu”. Syahdan, Bani Israil mengundang Tuhan makan malam. Mereka meminta Nabi Musa as. menyampaikannya kepada Tuhan. Karena yang meminta adalah kekahsih-Nya, Tuhan pun menyanggupinya. Pesta digelar dengan aneka makanan untuk menjamu Tuhan. Seorang miskin dari jauh mencium bau makanan dan ia datang menghampiri sumber bau itu. Dalam keadaan lapar ia meminta sedikit makanan kepada para juru masak. Juru masak menolaknya karena makanan itu bukan untuk orang sepertinya. Makanan itu khusus dipersiapkan untuk Tuhan. Waktu makan malam pun tiba. Namun, setelah lama menunggu, ternyata Tuhan tak juga kunjung datang. Keesokan harinya, dengan perasaan kesal, Nabi Musa as. mengadu kepada Tuhan; mempertanyakan mengapa Tuhan tidak datang. Tuhan menjawab, “Aku sudah datang tetapi engkau dan kaummu mengabaikanku. Aku meminta makan tetapi engkau menolak memberikannya. Bumi tidak akan mampu menampung kebesaranKu. Maka Aku utus hamba yang miskin itu. Dengan memberikan makan kepadanya, sebenarnya engkau sudah memberikan makanan kepada-Ku”. Dengan cerita sufi di atas, Ibn 'Arabi, yang diberi gelar Syaikh Al-Akbar – Grand Master, menjadikan hal ini sebagai pembahasan yang lengkap sebanyak satu jilid dalam kitab masterpiece-nya, Futûhat Al-Makiyyah. Dalam pembahasan tentang tajalli Tuhan di bumi (penampakan), ia menyebutkan bahwa kita bisa menemukan Tuhan melalui perkhidmatan kepada sesama makhluk-Nya. Kita adalah hamba-hamba Allah dan kita adalah anggota keluarga Allah. Dengan lidah ekstase ia bersenandug, “Tuhan, sesekali Engkau menyembahku, dan sesekali aku menyembah-Mu”. Anda tidak bisa menyembah Tuhan jika Tuhan tidak menganugerahkan karunia-Nya. Dengan menganugerahkan karunianya, maka Tuhan melayani Anda. Tuhan menyembah Anda melalui pelayanan-Nya kepada Anda. Sebelum kita menyembah Tuhan, Dia menyembah kita terlebih dahulu dengan limpahan karunia-Nya. Allah Swt berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Ad-Dzariyat [51]:56). Jadi, agar kita bisa mengabdi kepada Tuhan, Dia mesti mengabdi kepada kita terlebih dahulu dengan menciptakan kita. Ini yang dimaksud oleh Ibn ‘Arabi dalam puisinya. Hanya saja, ada orang-orang tertentu yang tidak memahami pemikiran para sufi kemudian menuduh para sufi itu kafir. Mereka mengukur kemuliaan para sufi dengan kemuliaan diri mereka sendiri. Walhasil, Ibn ‘Arabi difitnah dan dimasukkan dalam daftar orang-orang kafir – black list. Imam Ali Zainal Abidin dengan indah menggambarkan pelayanan Tuhan itu dalam doanya. “Tuhanku, Engkau melayaniku seolah-olah tidak ada lagi hamba-Mu yang lain selain aku, sedangkan aku menyembah-Mu seolah-olah ada Tuhan selain Engkau”. Karena itu, berkhidmat adalah seni melayani yang diajarkan oleh Allah Swt kepada hamba-Nya. Menurut para sufi, jika kita ingin mendekati Tuhan maka kita harus menyerap asma-Nya. Nabi bersabda, “Takhallaku bi asmaillah”, berakhlaqlah kamu dengan asma Allah. Pada waktu yang lain, Nabi bersabda, “Takhallaku bi akhlaqillah” – berakhlaqlah kamu dengan akhlaq Allah. Dalam komunikasi dikenal modelling theory (teori peniruan) yaitu kecenderungan manusia untuk meniru idolanya. Rasulullah adalah idola bagi seluruh umat manusia. Tujuan kedatangannya ke bumi tidak lain hanyalah untuk menegakkan kemulian akhlaq. “Innama buitsu li utammima makarimul akhlaq”, sesungguhnya aku diutus untuk menegakkan kemuliaan akhlaq, sabda Rasulluah. Ketika Aisyah ditanya tentang akhlaq Rasul, ia menjawab, “Akhlaq Rasul adalah akhlaq alquran”. Dan aklaq alquran tidak lain adalah akhlaq Allah Swt. Menurut para ahli komunikasi, semakin banyak persamaan antara anda dengan orang lain, maka semakin besar potensi anda untuk dekat. Mereka menyebutnya similarity. Dan inilah perlunya kita berkhidmat : untuk mendekatkan diri kepada Allah. Semua agama sepakat bahwa kita hanya dapat mendekati Tuhan dan menyempurnakan perjalanan ruhaniah kita dengan memberi, dengan berbagi, dengan berkhidmat kepada sesama. Dengan berkhidmat kepada sesama manusia, kita memperoleh faedah yang kedua : meruntuhkan apa yang oleh para psikolog sebut moral superiority. Dalam istilah Islam ini disebut takabur, kesombongan. Superioritas moral artinya merasa lebih tinggi atau lebih baik dari orang lain. Apa itu karena status, kekuasaan, kemampuan intelektual, kekayaan, atau kecantikan. Orang yang sombong akan sulit memasuki kerajaan Tuhan seperti sulitnya unta memasuki lubang jarum. Tuhan berkata, “Kebesaran adalah busana-Ku. Barangsiapa yang menyaingi kebesaran-Ku akan Aku campakkan dia”. Orang yang tidak mau berkhidmat dan hanya mau dikhidmati orang lain, orang itu pastilah orang yang sombong. Ada sebuah doa yang indah dari seorang ust, “Ya Allah, buatlah aku lelah berhikmad kepada hamba-hamba-Mu dengan membagi-bagikan karunia-Mu, jangan jadikan aku lelah mencari karunia-Mu”. Faedah ketiga dari berkhidmat adalah untuk menaklukkan ego kita. Gangguan jiwa, seperti kegelisahan, keresahan, dan stres yang berkepanjangan, diketahui oleh para psikoterapis bermula dari perbuatan kita yang selalu mementingkan diri kita sendiri; menghendaki orang lain berperilaku seperti yang kita kehendaki dan menginginkan dunia berjalan seperti yang kita atur. Penderitaan kita bertambah bila sesuatu yang kita inginkan itu tidak terjadi. Yang selalu kita pikirkan adalah keinginan-keinginan ego kita. Untuk menaklukkan ego, kita harus melakukan latihan-latihan spiritual. Dan berkhidmat adalah the golden way. Keempat, dengan berkhidmat kita belajar mencintai. Kita belajar memusatkan perhatian kita kepada orang lain. Kita harus beralih dari pusat ego ke posisi orang lain: dari egoisme ke altruisme. Keinginan untuk selalu dicintai adalah penyakit egoisme yang diderita manusia modern. Semua buku-buku yang berkenaan dengan self improvement mengajarkan kepada kita kiat-kiat untuk dicintai. Namun sebanyak apa pun kiat dan teknik yang kita baca, suatu saat pasti ada orang yang tidak mencintai kita, itu kenyataan yang harus kita terima. Dengan berkhikmad kepada sesama, perhatian kita beralih dari ingin dicintai menjadi ingin mencintai. Imam Ali Zainal Abidin pernah berdoa: “Ya Allah, aku mohonkan kecintaan kepada-Mu dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu serta cinta amal yang membawaku kepada cinta-Mu. Jadikanlah cinta-Mu lebih aku cintai dari apa pun selain-Mu”. Dalam cinta mesti ada sharing. Cinta bukanlah semata-mata taking tapi juga giving at the same time. Kalau kita sudah mencitai, maka akan lahir satu sikap dalam diri kita : kesenangan memberi. Rasulullah bersabda, “Salinglah kalian memberi hadiah agar kalian saling mencintai”. Jadi, surprise dapat memperkokoh dan melanggengkan kecintaan kita. Inilah faedah kelima dari berkhidmat kepada sesama. Simaklah kisah Nabi Musa as beriktu ini sebagai hadiah dariku untuk Anda : Di bukit Tursina Musa as datang menemui Tuhan. Di hadapan Tuhan Musa as meletakkan dahinya di atas tanah. Setelah itu, dia berkata, “Tuhanku, Engkau perintahkan aku puasa, aku memenuhinya. Engkau perintahkan aku shalat, aku pun mendirikannya. Dan perintah menyampaikan firman-Mu kepada hamba-Mu, telah aku penuhi. Semua itu aku lakukan sebagai hadiah dariku untuk-Mu”. Tuhan membalas perkataan Musa as dengan berkata, “Aku perintahakan engkau puasa agar engkau memperoleh pahala dari-Ku, dan pahala itu untukmu bukan untuk-Ku. Aku perintahkan engkau shalat agar engkau memperoleh kedudukan dalam surga-Ku, dan surga-Ku tentu bukan untuk-Ku tapi untukmu. Dan perintah menyampaikan wahyu-Ku agar engkau memperoleh ridha-Ku dan semua itu untukmu. Lalu mana hadiah untuk-Ku?”. Tuhan kemudian melanjutkan firman-Nya, “Jika engkau ingin memberi-Ku hadiah, maka berkhidmatlah kepada sesama mahluk-Ku”.[]